Kepemimpinan Murid dan Cara Menumbuhkembangkan Kepemimpinan Murid

Kepemimpinan Murid dan Cara Menumbuhkembangkan Kepemimpinan Murid


Apa dan bagaimana Kepemimpinan Murid dan Cara Menumbuhkembangkan Kepemimpinan Murid ? Melalui filosofi dan metafora “menumbuhkan padi”, Ki Hajar Dewantara mengingatkan agar dalam mewujudkan pembelajaran yang berpusat pada murid, guru harus secara sadar dan terencana membangun ekosistem yang mendukung pembelajaran yan mampu memekarkan murid berkembang sesuai dengan kodratnya. Oleh karena itu, saat guru merancang sebuah program/kegiatan pembelajaran di sekolah, baik itu intrakurikuler, ko-kurikuler, atau ekstrakurikuler, maka murid juga seharusnya menjadi pertimbangan utama.

 

Apa yang dimaksud Kepemimpinan Murid ? Murid-murid kita harus dapat melakukan lebih dari sekedar menerima instruksi dari guru. Murid secara alami adalah seorang pengamat, penjelajah, penanya, yang memiliki rasa ingin tahu atau minat terhadap berbagai hal. melalui rasa ingin tahu serta interaksi dan pengalaman mereka dengan orang lain dan lingkungan sekitarnya, mereka kemudian membangun sendiri pemahaman tentang diri mereka, orang lain, lingkungan sekitar, maupun dunia yang lebih luas. Dengan kata lain, murid-murid kita sebenarnya memiliki kemampuan atau kapasitas untuk mengambil bagian atau peranan dalam proses belajar mereka sendiri.

 

Agar kita dapat menjadikan murid sebagai pemimpin bagi proses pembelajarannya sendiri, maka kita perlu memberikan kesempatan kepada murid untuk mengembangkan kapasitasnya dalam mengelola pembelajaran mereka sendiri, sehingga  potensi kepemimpinannya dapat berkembang dengan baik. Peran kita adalah: 1) Mendampingi murid agar pengembangan potensi kepemimpinan mereka tetap sesuai dengan kodrat, konteks dan kebutuhannya; 2) Mengurangi kontrol kita terhadap mereka.


Apa dan bagaimana Kepemimpinan Murid dan Cara Menumbuhkembangkan Kepemimpinan Murid ? Melalui filosofi dan metafora “menumbuhkan padi”, Ki Hajar Dewantara mengingatkan agar dalam mewujudkan pembelajaran yang berpusat pada murid, guru harus secara sadar dan terencana membangun ekosistem yang mendukung pembelajaran yan mampu memekarkan murid berkembang sesuai dengan kodratnya. Oleh karena itu, saat guru merancang sebuah program/kegiatan pembelajaran di sekolah, baik itu intrakurikuler, ko-kurikuler, atau ekstrakurikuler, maka murid juga seharusnya menjadi pertimbangan utama.  Apa yang dimaksud Kepemimpinan Murid ? Murid-murid kita harus dapat melakukan lebih dari sekedar menerima instruksi dari guru. Murid secara alami adalah seorang pengamat, penjelajah, penanya, yang memiliki rasa ingin tahu atau minat terhadap berbagai hal. melalui rasa ingin tahu serta interaksi dan pengalaman mereka dengan orang lain dan lingkungan sekitarnya, mereka kemudian membangun sendiri pemahaman tentang diri mereka, orang lain, lingkungan sekitar, maupun dunia yang lebih luas. Dengan kata lain, murid-murid kita sebenarnya memiliki kemampuan atau kapasitas untuk mengambil bagian atau peranan dalam proses belajar mereka sendiri.  Agar kita dapat menjadikan murid sebagai pemimpin bagi proses pembelajarannya sendiri, maka kita perlu memberikan kesempatan kepada murid untuk mengembangkan kapasitasnya dalam mengelola pembelajaran mereka sendiri, sehingga potensi kepemimpinannya dapat berkembang dengan baik. Peran kita adalah: 1) Mendampingi murid agar pengembangan potensi kepemimpinan mereka tetap sesuai dengan kodrat, konteks dan kebutuhannya; 2) Mengurangi kontrol kita terhadap mereka.  Saat murid memiliki kontrol atas apa yang terjadi, atau merasa bahwa mereka dapat mempengaruhi sebuah situasi inilah, maka murid akan memiliki apa yang disebut dengan “agency”. Agency dapat diartikan sebagai kapasitas seseorang untuk mempengaruhi fungsi dirinya dan arah jalannya peristiwa melalui tindakan-tindakan yang dibuatnya. Albert Bandura dalam artikelnya, Toward a Psychology of Human Agency (2006) mengatakan, bahwa menjadi seorang agent (seseorang yang memiliki agency) berarti orang tersebut secara sengaja mempengaruhi fungsi dan keadaan hidup dirinya. Dalam pandangan ini, pengaruh pribadi merupakan bagian dari struktur kausal.  Orang-orang sebenarnya dapat mengatur diri sendiri, bersikap proaktif, meregulasi diri sendiri, dan merefleksikan diri. Mereka bukan hanya dapat menjadi penonton dari perilaku mereka sendiri, tetapi adalah kontributor untuk keadaan hidup mereka sendiri.  Lebih lanjut, dalam artikel yang sama Bandura juga mengatakan bahwa ada empat sifat inti dari human agency, yang dalam modul ini kita singkat dengan akronim IVAR untuk memudahkan mengingat, yaitu: 1. I - Intensi = Kesengajaan (intentionality). Seseorang yang memiliki agency bukan hanya memiliki sekedar niat, tetapi di dalam niat mereka sudah termasuk rencana tindakan dan strategi untuk mewujudkannya. Orang yang memiliki agency akan memahami bahwa dalam mewujudkan niatnya, ia juga harus mempertimbangkan keinginan pihak lain, sehingga berupaya untuk menemukan niatan bersama dan mengelola kesaling-tergantungan rencana. 2. V - Visi = Pemikiran ke depan (forethought). Pemikiran ke depan di sini bukan hanya sekedar rencana yang mengarahkan masa depan. Mereka yang berpikiran ke depan menjadikan visi (representasi kognitif dari visualisasi masa depan) sebagai pemandu dan memotivasi tindakan-tindakan mereka saat ini. Hal ini membuat mereka menjadi individu yang bersemangat dan bertujuan. 3. A - Aksi = Kereaktifan-diri (self-reactiveness). Seseorang yang memiliki agency, bukan hanya seorang perencana dan pemikir ke depan. Mereka juga seorang pengendali diri (self-regulator). Setelah memiliki niat dan rencana, ia tidak akan duduk diam dan menunggu. Mereka memiliki kemampuan untuk mengkonstruksi aksi atau tindakan yang tepat dan untuk memotivasi serta mengatur eksekusinya.  4. R - Refleksi = Kereflektifan-diri (self-reflectiveness). Seseorang yang memiliki agency akan memiliki kesadaran yang baik akan fungsi dirinya. Mereka akan melakukan refleksi terhadap efikasi dirinya, kecemerlangan dan ketepatan pikiran dan tindakannya, dan kebermaknaan dari upaya yang mereka lakukan dalam pencapaian tujuan, serta akan melakukan perbaikan jika diperlukan. Kemampuan metakognitif untuk melakukan refleksi diri sendiri dan kecukupan pemikiran dan tindakan seseorang adalah sifat yang paling jelas dari orang yang memiliki agency.  Murid mendemonstrasikan “student agency” ketika mereka mampu mengarahkan pembelajaran mereka sendiri, membuat pilihan-pilihan, menyuarakan opini, mengajukan pertanyaan dan mengungkapkan rasa ingin tahu, berpartisipasi dan berkontribusi pada komunitas belajar, mengkomunikasikan pemahaman mereka kepada orang lain, dan melakukan tindakan nyata sebagai hasil proses belajarnya.  Mengingat bahwa kata agency ini belum ada padanan yang tepat dalam bahasa Indonesia, maka untuk kepentingan pembahasan di dalam modul ini, maka istilah student agency ini selanjutnya akan diterjemahkan sebagai “kepemimpinan murid”. Jika kita mengacu pada OECD (2019:5), ‘kepemimpinan murid’ berkaitan dengan pengembangan identitas dan rasa memiliki. Ketika murid mengembangkan agency, mereka mengandalkan motivasi, harapan, efikasi diri, dan growth mindset (pemahaman bahwa kemampuan dan kecerdasan dapat dikembangkan) untuk menavigasi diri mereka menuju kesejahteraan lahir batin (wellbeing). Hal inilah yang kemudian memungkinkan mereka untuk bertindak dengan memiliki tujuan, yang membimbing mereka untuk berkembang di masyarakat.  Konsep kepemimpinan murid sebenarnya berakar pada prinsip bahwa murid memiliki kemampuan dan keinginan untuk secara positif mempengaruhi kehidupan mereka sendiri dan dunia di sekitar mereka. Kepemimpinan murid dapat dilihat sebagai kapasitas untuk menetapkan tujuan, melakukan refleksi dan bertindak secara bertanggung jawab untuk menghasilkan perubahan. Kepemimpinan murid adalah tentang murid yang bertindak secara aktif, dan membuat keputusan serta pilihan yang bertanggung jawab, daripada hanya sekedar menerima apa yang ditentukan oleh orang lain. Ketika murid menunjukkan agency dalam pembelajaran mereka sendiri, yaitu ketika mereka berperan aktif dalam memutuskan apa dan bagaimana mereka akan belajar, maka mereka cenderung menunjukkan motivasi yang lebih besar untuk belajar dan lebih mampu menentukan tujuan belajar mereka sendiri. Lewat proses yang seperti ini, murid-murid akan secara alamiah mempelajari keterampilan belajar (belajar bagaimana belajar). Keterampilan belajar ini adalah sebuah keterampilan yang sangat penting, yang dapat dan akan mereka gunakan sepanjang hidup mereka dan bukan hanya untuk saat ini.  Saat murid menjadi pemimpin dan mengambil peran aktif dalam proses pembelajaran mereka sendiri, maka hubungan yang tercipta antara guru dengan murid akan mengalami perubahan, karena hubungannya akan menjadi bersifat kemitraan. Dalam hubungan yang bersifat kemitraan ini, saat murid belajar mereka akan: a) berusaha untuk memahami tujuan pembelajaran yang ingin dicapainya; b) menunjukkan keterlibatan dalam proses pembelajaran; c) menunjukkan tanggung jawab dalam proses pembelajaran; d) menunjukkan rasa ingin tahu - menunjukkan inisiatif; e) membuat pilihan-pilihan tindakan; f) memberikan umpan balik kepada satu sama lain.  Di sisi lain, guru yang akan mengambil peranan sebagai mitra murid dalam belajar akan: a) berusaha secara aktif mendengarkan, menghormati, dan menanggapi ide-ide, pendapat, pertanyaan, aspirasi dan perspektif murid-murid mereka; b) memperhatikan kemampuan, kebutuhan, dan minat murid-murid mereka untuk memastikan proses pembelajaran sesuai untuk mereka; c) mendorong murid untuk mengeksplorasi minat mereka dengan memberi mereka tugas-tugas terbuka; d) menawarkan kesempatan kepada murid untuk menunjukkan kreativitas dan mengambil risiko; f) mempertimbangkan sejauh mana tingkat bantuan yang harus diberikan kepada murid berdasarkan informasi yang mereka miliki; g) menunjukkan minat dan keingintahuan untuk mendengarkan dan menanggapi setiap aktivitas murid untuk memperluas pemikiran mereka.  Dengan demikian konsep kepemimpinan murid memiliki makna a) kepemimpinan murid mengandung makna murid mengambil kepemilikan dan tanggung jawab atas proses pembelajaran mereka sendiri; b) kepemimpinan murid mengandung makna murid memiliki suara dan pilihan atas apa yang akan mereka pelajari, bagaimana mereka belajar dan mengorganisir pembelajaran mereka; c) kepemimpinan murid mengandung makna murid dapat memilih arah dan cara mencapai tujuan pembelajaran sendiri; d) kepemimpinan murid mengandung makna sesuatu yang dapat kita dorong Bagaimana Cara Menumbuhkembangkan Kepemimpinan Murid? Saat murid menjadi pemimpin dalam proses pembelajaran mereka sendiri (atau kita katakan: saat murid memiliki agency, maka mereka sebenarnya memiliki suara (voice), pilihan (choice), dan kepemilikan (ownership) dalam proses pembelajaran mereka. Lewat suara, pilihan, dan kepemilikan inilah murid kemudian mengembangkan kapasitas dirinya menjadi seorang pemilik bagi proses belajarnya sendiri. Tugas kita sebagai guru sebenarnya hanya menyediakan lingkungan yang menumbuhkan budaya di mana murid memiliki suara, pilihan, dan kepemilikan dalam apa yang mereka pikirkan, niat yang mereka tetapkan, bagaimana mereka melaksanakan niat mereka, dan bagaimana mereka merefleksikan tindakan mereka.  Apa dan bagaimana yang dimaksud dengan suara, pilihan, dan kepemilikan murid? 1. Suara (voice) Ketika kita berbicara tentang “suara” murid, maka kita sebenarnya bukan hanya berbicara tentang memberi murid kesempatan untuk mengomunikasikan ide dan pendapat. Voice (suara) adalah pandangan, perhatian, gagasan yang diekspresikan oleh murid melalui partisipasi aktif mereka di kelas, sekolah, komunitas, dan sistem pendidikan mereka, yang berkontribusi pada proses pengambilan keputusan dan secara kolektif mempengaruhi hasilnya. Mempertimbangkan suara murid adalah tentang bagaimana kita memberdayakan murid kita agar memiliki kekuatan untuk mempengaruhi perubahan. Suara murid yang otentik memberikan kesempatan bagi murid untuk berkolaborasi dan membuat keputusan dengan orang dewasa seputar apa dan bagaimana mereka belajar dan bagaimana pembelajaran mereka dinilai. Mempromosikan suara murid dalam proses pembelajaran dapat dilakukan dalam banyak cara. Suara murid dapat ditumbuhkan melalui diskusi, membuka ruang ekspresi kreatif, memberi pendapat, merelevansikan pembelajaran secara pribadi, dan sebagainya. Berikut ini adalah beberapa contoh bagaimana sekolah atau guru dapat mempromosikan “suara murid”: a) Membangun budaya saling mendengarkan; b) Membangun kepercayaan diri murid agar mereka percaya bahwa setiap suara berharga dan layak didengar; c) Melibatkan murid dalam memberikan umpan balik terhadap proses belajar yang telah dilakukan; d) Melibatkan murid dalam memberikan umpan balik terhadap berbagai program dan kebijakan-kebijakan sekolah; e) Melibatkan murid dalam perencanaan pembelajaran; f) Melibatkan murid dalam menyusun kriteria penilaian; g) Memberikan kesempatan murid untuk bertanya, memberikan pendapat, berdiskusi dalam berbagai kesempatan dan proses pembelajaran; h) Mengajak murid untuk mendiskusikan keyakinan kelas dan membuat kesepakatan kelas; i) Membentuk dewan murid atau komite-komite yang anggotanya adalah murid-murid untuk memberikan masukan kepada sekolah terhadap berbagai elemen sekolah lainnya (misalnya lingkungan, fasilitas, kegiatan, kantin, seragam); j) Melibatkan murid untuk memberikan saran tentang alat permainan apa yang mereka inginkan ada di halaman sekolah; k) Memberikan kesempatan murid untuk memberi saran terkait menu yang di jual kantin; l) Membuat kotak saran untuk murid memberikan saran dan masukan tentang sekolah; m) Melakukan kegiatan pembelajaran berbasis proyek. Mengidentifikasi masalah atau persoalan yang terjadi dalam dunia nyata yang menarik bagi murid dan kemudian memberi kesempatan mereka untuk bekerja sama dan bertukar pikiran tentang strategi dan solusi untuk permasalahan tersebut; n) Membuat blog murid dan majalah dinding untuk menyuarakan aspirasi dan kreativitas murid.  2. Pilihan (Choice) Pilihan (choice) adalah peluang yang diberikan kepada murid untuk memilih kesempatan-kesempatan dalam ranah sosial, lingkungan, dan pembelajaran. Dalam ranah sosial, murid dapat diberikan kesempatan untuk berada dalam kelompok yang sesuai dengan tujuan atau minatnya; dalam ranah lingkungan, murid dapat diberikan kesempatan untuk memilih atau mengatur tempat belajar yang sesuai untuk mereka. Dalam ranah lingkungan, murid diberikan kesempatan untuk memilih lingkungan belajar yang paling mendukung untuk mereka belajar secara maksimal. Sementara dalam ranah pembelajaran, murid diberikan pilihan-pilihan untuk mengakses, berlatih, atau membuktikan penguasaan pengetahuan atau keterampilan dalam kurikulum.  Aiken et al (2016) dalam Thibodeaux et al. (2019), menyimpulkan bahwa memberi pilihan akan memberdayakan murid, mendorong keterlibatan, dan mempromosikan minat dalam pengalaman belajar. Selain itu, memberi peserta didik pilihan dan kepemilikan mensyaratkan bahwa kontrol dalam proses pembelajaran harus diberikan juga kepada murid-murid (Thibodeaux 2017; 2019).  Bandura (1997) juga menegaskan bahwa memberikan murid pilihan juga akan meningkatkan motivasi dan otonomi murid, yang dapat memberikan dampak positif pada efikasi diri dan motivasi murid (dalam Thibodeaux et al, 2019).  Bagaimana guru dapat memberikan murid-murid ‘pilihan’ dalam proses belajar mereka? Ada banyak cara yang dapat dilakukan. Berikut ini adalah beberapa contoh bagaimana guru dapat mendorong dan menyediakan “pilihan” bagi murid-muridnya: a) Membuka cakrawala murid bahwa ada berbagai pilihan atau alternatif yang dapat dijadikan bahan pertimbangan sebelum menentukan sebuah keputusan; b) Memberikan kesempatan bagi murid untuk memilih bagaimana mereka mendemonstrasikan pemahamannya tentang apa yang telah mereka pelajari; c) Memberikan kesempatan pada murid untuk memilih peran yang dapat mereka ambil dalam sebuah kegiatan/program; d) Memberikan murid kesempatan untuk memilih kelompok; e) Memberikan kesempatan murid untuk mengelola pengaturan kegiatan; f) Menggunakan musyawarah untuk mengambil keputusan, atau jika memang diperlukan melalui voting, untuk memprioritaskan langkah tindakan atau aktivitas berikutnya. Misalnya saat ingin belajar tentang topik tertentu, guru dapat mendiskusikan dan membuat daftar kegiatan apa saja yang dapat mereka lakukan, kemudian meminta murid untuk memilih mana yang ingin mereka lakukan lebih dulu; g) Mengajak OSIS membuat daftar kegiatan (event), dan memberikan kesempatan untuk memilih mana kegiatan yang ingin mereka lakukan di dalam satu tahun ajaran; h) Memberi kesempatan pada murid untuk menentukan sendiri bentuk penugasan yang mereka inginkan; i) Memberikan kesempatan pada murid untuk mempresentasikan hasil kerja/proyek sesuai dengan gaya , minat dan bakat mereka; j) Memberikan kesempatan pada murid untuk menggali sumber-sumber belajar sesuai minat mereka; k) memberikan kesempatan pada murid untuk mengevaluasi pembelajarannya; l) memberikan kesempatan pada murid untuk menentukan rencana, jadwal atau agenda dalam melaksanakan pembelajarannya.  3. Kepemilikan (ownership) Dalam pembahasan sebelumnya, telah dijelaskan bahwa saat murid berada dalam kursi kemudi proses belajar mereka, maka mereka akan lebih bertanggungjawab terhadap proses pembelajaran mereka sendiri dan menunjukkan keterlibatan yang lebih tinggi dalam proses belajarnya.  Menurut Duddley-Marling dan Searle yang dikutip oleh Rainer dan Mona dalam artikel yang berjudul Ownership of Learning in Teacher Education (2002:27) bahwa kepemilikan bukanlah sesuatu yang bisa diberikan, melainkan sesuatu yang berkembang dalam struktur dan proses yang menyiratkan rasa hormat terhadap otonomi, kekuasaan, suara, dan tanggung jawab kepada orang lain.  Dengan demikian kondisi-kondisi, struktur, dan proses perlu dikembangkan agar guru mampu menciptakan proses pembelajaran yang mendorong murid memiliki rasa kepemilikan. Beberapa hal yang dapat dilakukan oleh guru adalah: a) Memberikan murid kesempatan untuk memilih beberapa kegiatan yang mereka lakukan (misalnya memilih topik untuk dilaporkan); b) Memberikan kesempatan murid berpartisipasi dalam pengembangan kurikulum (misalnya, memutuskan apa yang ingin mereka pelajari); c) Memberikan murid kesempatan untuk berpartisipasi aktif dalam kelas; d) Memberikan murid kesempatan untuk menilai diri sendiri dan terlibat dalam proses penilaian (misalnya, melibatkan murid dalam mendiskusikan kriteria rubrik proyek yang baik). Voltz DL, Damiano-Lantz M. dalam artikel penelitiannya yang berjudul Developing Ownership in Learning. Teaching Exceptional Children (1993;18) menjelaskan bahwa kepemilikan dalam belajar (ownership in learning) sebenarnya mengacu pada rasa keterhubungan, keterlibatan aktif, dan investasi pribadi seseorang dalam proses belajar.  Merujuk pada pendapat tentang konsep kepemilikan, dapat dikatakan bahwa, saat murid terhubung (baik secara fisik, kognitif, emosional) dengan apa yang sedang dipelajari, terlibat aktif, dan menunjukkan investasi pribadi dalam proses belajarnya, maka kita dapat mengatakan bahwa tingkat rasa kepemilikan mereka terhadap proses belajar tinggi.  Berikut ini adalah beberapa contoh mempromosikan “kepemilikan murid”: a) Merespon dan menindaklanjuti masukan dan umpan balik dari murid; b) Meminta pendapat murid untuk menentukan bentuk penugasan; c) menciptakan lingkungan belajar di mana murid dapat menetapkan tujuan belajar dan kriteria keberhasilan mereka sendiri, dan memantau dan menyesuaikan pembelajaran mereka; d) secara terus menerus tunjukkan kepada murid bagaimana mereka dapat menjadi pembelajar yang lebih baik dari hari ke hari, misalnya dengan belajar untuk menerima kesalahan. Berbagilah dengan murid-murid kita bagaimana terkadang kita membuat kesalahan dan bagaimana kita kemudian belajar dari kesalahan tersebut. Dengan cara ini, murid akan selalu merasa diterima. tidak dituntut sempurna, sehingga merasa nyaman dalam proses pembelajarannya; e) Menanyakan kepada murid apa yang mereka ketahui tentang topik yang akan dipelajari atau mendiskusikan pengalaman murid tentang topik tersebut, dan mengkoneksikannya dengan pembelajaran yang akan dilakukan; f) Memosting ide siswa (dengan seizin murid sebagai bagian dari menghargai dan menghormati kepemilikan murid); g) Mengajak murid mengatur layout kelas mereka sendiri; h) Mengkondisikan lingkungan fisik yang mendukung kepemilikan. Misalnya membuat papan buletin, yang dapat digunakan murid untuk menampilkan informasi tentang pekerjaan mereka, kesuksesan mereka, dsb; i) Mengajak murid untuk mengatur kelas mereka sendiri; j) Memajang pekerjaan-pekerjaan murid di kelas; k) Melakukan penilaian diri sendiri (self assessment); l) Membuat sudut murid di salah satu bagian sekolah, kemudian memberikan jadwal untuk setiap kelas untuk melakukan sesuatu di sudut tersebut; m) Memberi kesempatan murid membawa sumber-sumber pembelajaran yang mungkin mereka miliki dan meminta mereka berbagi.  Bagaimana Lingkungan yang Menumbuhkembangkan Kepemimpinan Murid ? Sebagaimana padi yang hanya akan tumbuh subur pada lingkungan yang sesuai, maka kepemimpinan murid pun akan tumbuh dengan lebih subur jika sekolah dapat menyediakan lingkungan yang cocok. Lingkungan yang menumbuhkembangkan kepemimpinan murid adalah lingkungan di mana guru, sekolah, orangtua, dan komunitas secara sadar mengembangkan wellbeing atau kesejahteraan diri murid-muridnya secara optimal.  Noble et al (2008) menjelaskan bahwa kesejahteraan siswa yang optimal adalah sebuah keadaan emosional yang berkelanjutan yang dicirikan dengan (terutama) suasana hati dan sikap yang positif, hubungan positif dengan murid lain maupun guru, daya lenting atau ketangguhan, pengoptimalan kekuatan diri, serta tingkat kepuasan yang tinggi terhadap pengalaman belajar mereka di sekolah Menyadur apa yang disampaikan oleh Noble tersebut, maka lingkungan yang menumbuhkembangkan kepemimpinan murid akan memiliki beberapa karakteristik, di antaranya adalah: 1. Lingkungan yang menyediakan kesempatan untuk murid menggunakan pola pikir positif dan merasakan emosi yang positif. Lingkungan yang seperti ini akan membuat murid mampu dan berkeinginan untuk melakukan hal-hal secara positif untuk dirinya sendiri serta memberikan pengaruh positif kepada kehidupan orang lain dan sekelilingnya. Pola pikir positif ini didapatkan oleh murid melalui pengalaman emosi positif dalam konteks sekolah, di mana murid bukan hanya merasa aman, nyaman, dan merasa menjadi bagian dari komunitas sekolah, namun juga didapat dari adanya keadaan di mana murid merasakan keselarasan antara kebutuhan dan harapannya terhadap sekolah dan lingkungannya dengan pengalaman belajar yang didapatnya di sekolah. Lewat pengalaman emosi positif ini, murid akan mampu mengembangkan keterampilan inkuiri, menunjukkan sikap gembira, penuh syukur, saling mengapresiasi. Mereka memiliki kesadaran diri, sikap optimis sehingga dapat berperan aktif dan membuat perbedaan yang positif baik untuk dirinya sendiri, orang lain, maupun lingkungan sekitarnya.  2. Lingkungan yang mengembangkan keterampilan berinteraksi sosial secara positif, arif dan bijaksana, di mana murid akan menjunjung tinggi nilai-nilai sosial positif yang berbasis pada nilai-nilai kebajikan yang dibangun oleh sekolah. Di dalam lingkungan yang seperti ini, nilai-nilai tersebut kemudian akan mewujud menjadi atmosfer sekolah yang positif, di mana hubungan dan interaksi sosial yang terjalin di antara para murid, guru, orang tua maupun seluruh komunitas yang terkait akan terasa sangat positif dan kontributif.  3. Lingkungan yang melatih keterampilan yang dibutuhkan murid dalam proses pencapaian tujuan akademik maupun non-akademiknya. Lingkungan ini akan memungkinkan murid untuk memiliki determinasi diri yang kuat dalam proses pembelajaran, baik dalam aspek akademik maupun non-akademik. Dalam lingkungan ini, murid akan belajar tentang nilai-nilai ketekunan serta kerja keras. Murid akan belajar untuk mampu melihat sejauh mana kemajuan proses belajarnya. Murid mampu mengerjakan tugas sekolahnya secara mandiri, memiliki pemahaman yang benar dan cakap sehingga berhasil mencapai tujuan yang telah ditetapkan.  4. Lingkungan yang melatih murid untuk menerima dan memahami kekuatan diri, sesama, serta masyarakat dan lingkungan di sekitarnya. Lingkungan yang seperti ini akan membantu murid untuk dapat menerapkan dan mempergunakan apa yang menjadi kekuatan dirinya dan memanfaatkan serta menerapkannya dalam berbagai konteks yang berbeda-beda.  5. Lingkungan yang membuka wawasan murid agar dapat menentukan dan menindaklanjuti tujuan, harapan atau mimpi yang manfaat dan kebaikannya melampaui pemenuhan kepentingan individu, kelompok, maupun golongan. Lingkungan yang seperti ini akan memberikan kesempatan bagi murid untuk melihat dirinya sebagai bagian dari sesuatu yang jauh lebih besar di luar dirinya. Lingkungan ini akan memberikan peluang bagi murid untuk belajar melalui pelayanan kepada masyarakat dan komunitas di mana mereka akan dapat terus mengasah rasa kemanusiaan, kepedulian, dan rasa cinta kasih.  6. Lingkungan yang menempatkan murid sedemikian rupa sehingga terlibat aktif dalam proses belajarnya sendiri. Lingkungan yang seperti ini akan menyediakan berbagai kegiatan belajar yang menarik, menantang, dan bermakna, di mana dalam prosesnya murid akan merasa senang hati dan menikmati setiap momen pembelajarannya.  7. Lingkungan yang menumbuhkan daya lenting dan sikap tangguh murid untuk terus bangkit di tengah kesempitan dan kesulitan. Lingkungan ini akan membantu murid untuk berani menerima tantangan, berjiwa besar, dan selalu bangkit lagi dan berusaha mencari solusi bila menemui kegagalan. Lingkungan ini akan memungkinkan murid untuk selalu mengambil pelajaran dari setiap kegagalan-kegagalan yang dijumpainya dan berusaha untuk menemukan cara-cara alternatif atau cara yang paling tepat.  Dalam rangka mewujudkan lingkungan belajar yang dapat menumbuhkan kepemimpinan murid, maka guru dan sekolah tentunya tidak dapat bekerja sendiri. Mereka akan memerlukan dukungan dari berbagai pihak. Salah satunya dari komunitas. Di dalam bahasan selanjutnya di bawah ini, kita akan membahas bagaimana peran keterlibatan komunitas dalam menumbuh kembangkan kepemimpinan muri

 

Saat murid memiliki kontrol atas apa yang terjadi, atau merasa bahwa mereka dapat mempengaruhi sebuah situasi inilah, maka murid akan memiliki apa yang disebut dengan “agency”. Agency dapat diartikan sebagai kapasitas seseorang untuk mempengaruhi fungsi dirinya dan arah jalannya peristiwa melalui  tindakan-tindakan yang dibuatnya.  Albert Bandura dalam artikelnya, Toward a Psychology of Human Agency (2006) mengatakan, bahwa menjadi seorang agent (seseorang yang memiliki agency) berarti orang tersebut secara sengaja mempengaruhi fungsi dan keadaan hidup dirinya. Dalam pandangan ini, pengaruh pribadi merupakan bagian dari struktur kausal.

 

Orang-orang sebenarnya dapat mengatur diri sendiri, bersikap proaktif, meregulasi diri sendiri, dan merefleksikan diri. Mereka bukan hanya dapat menjadi penonton dari perilaku mereka sendiri, tetapi adalah kontributor untuk keadaan hidup mereka sendiri.

 

Lebih lanjut, dalam artikel yang sama Bandura juga mengatakan bahwa ada empat sifat inti dari human agency, yang dalam modul ini kita singkat dengan akronim IVAR untuk memudahkan mengingat, yaitu:

1. I - Intensi = Kesengajaan (intentionality). Seseorang yang memiliki agency bukan hanya memiliki sekedar niat, tetapi di dalam niat mereka sudah termasuk rencana tindakan dan strategi untuk mewujudkannya. Orang yang memiliki agency akan memahami bahwa dalam mewujudkan niatnya, ia juga harus mempertimbangkan keinginan pihak lain, sehingga berupaya untuk menemukan niatan bersama dan mengelola kesaling-tergantungan rencana.

2. V - Visi = Pemikiran ke depan (forethought). Pemikiran ke depan di sini bukan hanya sekedar rencana yang mengarahkan masa depan. Mereka yang berpikiran ke depan menjadikan visi (representasi kognitif dari visualisasi masa depan) sebagai pemandu dan memotivasi tindakan-tindakan mereka saat ini. Hal ini membuat mereka menjadi individu yang bersemangat dan bertujuan.

3. A - Aksi = Kereaktifan-diri (self-reactiveness). Seseorang yang memiliki agency, bukan hanya seorang perencana dan pemikir ke depan. Mereka juga seorang pengendali diri (self-regulator). Setelah memiliki niat dan rencana, ia tidak akan duduk diam dan menunggu. Mereka memiliki kemampuan untuk mengkonstruksi aksi atau tindakan yang tepat dan untuk memotivasi serta mengatur eksekusinya. 

4. R - Refleksi = Kereflektifan-diri (self-reflectiveness). Seseorang yang memiliki agency akan memiliki kesadaran yang baik akan fungsi dirinya. Mereka akan melakukan refleksi terhadap efikasi dirinya, kecemerlangan dan ketepatan pikiran dan tindakannya, dan kebermaknaan dari upaya yang mereka lakukan dalam pencapaian tujuan, serta akan melakukan perbaikan jika diperlukan. Kemampuan metakognitif untuk melakukan refleksi diri sendiri dan kecukupan pemikiran dan tindakan seseorang adalah sifat yang paling jelas dari orang yang memiliki agency.

 

Murid mendemonstrasikan “student agency” ketika mereka mampu mengarahkan pembelajaran mereka sendiri, membuat pilihan-pilihan, menyuarakan opini, mengajukan pertanyaan dan mengungkapkan rasa ingin tahu, berpartisipasi dan berkontribusi pada komunitas belajar, mengkomunikasikan pemahaman mereka kepada orang lain, dan melakukan tindakan nyata sebagai hasil proses belajarnya.

 

Student agency dapat dimaknai sebagai kepemimpinan murid. Jika kita mengacu pada OECD (2019:5), pengertian kepemimpinan murid berkaitan dengan pengembangan identitas dan rasa memiliki. Ketika murid mengembangkan agency, mereka mengandalkan motivasi, harapan, efikasi diri, dan growth mindset (pemahaman bahwa kemampuan dan kecerdasan dapat dikembangkan) untuk menavigasi diri mereka menuju kesejahteraan lahir batin (wellbeing). Hal inilah yang kemudian memungkinkan mereka untuk bertindak dengan memiliki tujuan, yang membimbing mereka untuk berkembang di masyarakat.

 

Konsep kepemimpinan murid sebenarnya berakar pada prinsip bahwa murid memiliki kemampuan dan keinginan untuk secara positif mempengaruhi kehidupan mereka sendiri dan dunia di sekitar mereka. Kepemimpinan murid dapat dilihat sebagai kapasitas untuk menetapkan tujuan, melakukan refleksi dan bertindak secara bertanggung jawab untuk menghasilkan perubahan. Kepemimpinan murid adalah tentang murid yang bertindak secara aktif, dan membuat keputusan serta pilihan yang bertanggung jawab, daripada hanya sekedar menerima apa yang ditentukan oleh orang lain. Ketika murid menunjukkan agency dalam pembelajaran mereka sendiri, yaitu ketika mereka berperan aktif dalam memutuskan apa dan bagaimana mereka akan belajar, maka mereka cenderung menunjukkan motivasi yang lebih besar untuk belajar dan lebih mampu menentukan tujuan belajar mereka sendiri. Lewat proses yang seperti ini, murid-murid akan secara alamiah  mempelajari keterampilan belajar (belajar bagaimana belajar). Keterampilan belajar ini adalah sebuah keterampilan yang sangat penting, yang dapat dan akan mereka gunakan sepanjang hidup mereka dan bukan hanya untuk saat ini.

 

Saat murid menjadi pemimpin dan mengambil peran aktif dalam proses pembelajaran mereka sendiri, maka hubungan yang tercipta antara guru dengan murid akan mengalami perubahan, karena hubungannya akan menjadi bersifat kemitraan. Dalam hubungan yang bersifat kemitraan ini, saat murid belajar mereka akan: a)  berusaha untuk memahami tujuan pembelajaran yang ingin dicapainya; b) menunjukkan keterlibatan dalam proses pembelajaran; c) menunjukkan tanggung jawab dalam proses pembelajaran; d) menunjukkan rasa ingin tahu - menunjukkan inisiatif; e) membuat pilihan-pilihan tindakan; f) memberikan umpan balik kepada satu sama lain.

 

Di sisi lain, guru yang akan mengambil peranan sebagai mitra murid dalam belajar akan: a) berusaha secara aktif mendengarkan, menghormati, dan menanggapi ide-ide, pendapat, pertanyaan, aspirasi dan perspektif murid-murid mereka; b) memperhatikan kemampuan, kebutuhan, dan minat murid-murid mereka untuk memastikan proses pembelajaran sesuai untuk mereka; c) mendorong murid untuk mengeksplorasi minat mereka dengan memberi mereka tugas-tugas terbuka; d) menawarkan kesempatan kepada murid untuk menunjukkan kreativitas dan mengambil risiko; f) mempertimbangkan sejauh mana tingkat bantuan yang harus diberikan kepada murid berdasarkan informasi yang mereka miliki; g) menunjukkan minat dan keingintahuan untuk mendengarkan dan menanggapi setiap aktivitas murid untuk memperluas pemikiran mereka.

 

Dengan demikian konsep kepemimpinan murid memiliki makna a) kepemimpinan murid mengandung makna murid mengambil kepemilikan dan tanggung jawab atas proses pembelajaran mereka sendiri; b) kepemimpinan murid mengandung makna murid memiliki suara dan pilihan atas apa yang akan mereka pelajari, bagaimana mereka belajar dan mengorganisir pembelajaran mereka; c) kepemimpinan murid mengandung makna murid dapat memilih arah dan cara mencapai tujuan pembelajaran sendiri; d) kepemimpinan murid mengandung makna sesuatu yang dapat kita dorong

 

Bagaimana Cara Menumbuhkembangkan Kepemimpinan Murid? Saat murid menjadi pemimpin dalam proses pembelajaran mereka sendiri (atau kita katakan: saat murid memiliki agency, maka mereka sebenarnya memiliki suara (voice), pilihan (choice), dan kepemilikan (ownership) dalam proses pembelajaran mereka. Lewat suara, pilihan, dan kepemilikan inilah murid kemudian mengembangkan kapasitas dirinya menjadi seorang pemilik bagi proses belajarnya sendiri. Tugas kita sebagai guru sebenarnya hanya menyediakan lingkungan yang menumbuhkan budaya di mana murid memiliki suara, pilihan, dan kepemilikan dalam apa yang mereka pikirkan, niat yang mereka tetapkan, bagaimana mereka melaksanakan niat mereka, dan bagaimana mereka merefleksikan tindakan mereka.

 

Apa dan bagaimana yang dimaksud dengan suara, pilihan, dan kepemilikan murid?

1. Suara (voice)

Ketika kita berbicara tentang “suara” murid, maka kita sebenarnya bukan hanya berbicara tentang memberi murid kesempatan untuk mengomunikasikan ide dan pendapat.

Voice (suara) adalah pandangan, perhatian, gagasan yang diekspresikan oleh murid melalui  partisipasi aktif mereka di kelas, sekolah, komunitas, dan sistem pendidikan mereka, yang berkontribusi pada proses pengambilan keputusan dan secara kolektif mempengaruhi hasilnya.

Mempertimbangkan suara murid adalah tentang bagaimana kita memberdayakan murid kita agar memiliki kekuatan untuk mempengaruhi perubahan. Suara murid yang otentik memberikan kesempatan bagi murid untuk berkolaborasi dan membuat keputusan dengan orang dewasa seputar apa dan bagaimana mereka belajar dan bagaimana pembelajaran mereka dinilai.

Mempromosikan suara murid dalam proses pembelajaran dapat dilakukan dalam banyak cara. Suara murid dapat ditumbuhkan melalui diskusi, membuka ruang ekspresi kreatif, memberi pendapat, merelevansikan pembelajaran secara pribadi, dan sebagainya. Berikut ini adalah beberapa contoh bagaimana sekolah atau guru dapat mempromosikan “suara murid”: a) Membangun budaya saling mendengarkan; b) Membangun kepercayaan diri murid agar mereka percaya bahwa setiap suara berharga dan layak didengar; c) Melibatkan murid dalam memberikan umpan balik terhadap proses belajar yang telah dilakukan; d) Melibatkan murid dalam memberikan umpan balik terhadap berbagai program dan kebijakan-kebijakan sekolah; e) Melibatkan murid dalam perencanaan pembelajaran; f) Melibatkan murid dalam menyusun kriteria penilaian; g) Memberikan kesempatan murid untuk bertanya, memberikan pendapat, berdiskusi dalam berbagai kesempatan dan proses pembelajaran; h) Mengajak murid untuk mendiskusikan keyakinan kelas dan membuat kesepakatan kelas; i) Membentuk dewan murid atau komite-komite yang anggotanya adalah murid-murid untuk memberikan masukan kepada sekolah terhadap berbagai elemen sekolah lainnya (misalnya lingkungan, fasilitas, kegiatan, kantin, seragam); j)  Melibatkan murid untuk memberikan saran tentang alat permainan apa yang mereka inginkan ada di halaman sekolah; k) Memberikan kesempatan murid untuk memberi saran terkait menu yang di jual kantin; l) Membuat kotak saran untuk murid memberikan saran dan masukan tentang sekolah; m) Melakukan kegiatan pembelajaran berbasis proyek. Mengidentifikasi masalah atau persoalan yang terjadi dalam dunia nyata yang menarik bagi murid dan kemudian memberi kesempatan mereka untuk bekerja sama dan bertukar pikiran tentang strategi dan solusi untuk permasalahan tersebut; n) Membuat blog murid dan majalah dinding untuk menyuarakan aspirasi dan kreativitas murid.

 

2. Pilihan (Choice)

Pilihan (choice) adalah peluang yang diberikan kepada murid untuk memilih kesempatan-kesempatan dalam ranah sosial, lingkungan, dan pembelajaran. Dalam ranah sosial, murid dapat diberikan kesempatan untuk berada dalam kelompok yang sesuai dengan tujuan atau minatnya; dalam  ranah lingkungan, murid dapat diberikan kesempatan untuk memilih atau mengatur tempat belajar yang sesuai untuk mereka. Dalam ranah lingkungan, murid diberikan kesempatan untuk memilih lingkungan belajar yang paling mendukung untuk mereka belajar secara maksimal. Sementara dalam ranah pembelajaran, murid diberikan pilihan-pilihan untuk mengakses, berlatih, atau membuktikan penguasaan pengetahuan atau keterampilan dalam kurikulum.

 

Aiken et al (2016) dalam Thibodeaux et al. (2019), menyimpulkan bahwa memberi pilihan akan memberdayakan murid, mendorong keterlibatan, dan mempromosikan minat dalam pengalaman belajar. Selain itu, memberi peserta didik pilihan dan kepemilikan mensyaratkan bahwa kontrol dalam proses pembelajaran harus diberikan juga kepada murid-murid (Thibodeaux 2017; 2019).

 

Bandura (1997) juga menegaskan bahwa memberikan murid pilihan juga akan meningkatkan motivasi dan otonomi murid, yang dapat memberikan dampak positif pada efikasi diri dan motivasi murid (dalam Thibodeaux et al, 2019).

 

Bagaimana guru dapat memberikan murid-murid ‘pilihan’ dalam proses belajar mereka? Ada banyak cara yang dapat dilakukan. Berikut ini adalah beberapa contoh  bagaimana guru dapat mendorong dan menyediakan “pilihan” bagi murid-muridnya: a) Membuka cakrawala murid bahwa ada berbagai pilihan atau alternatif yang dapat dijadikan bahan pertimbangan sebelum menentukan sebuah keputusan; b) Memberikan kesempatan bagi murid untuk memilih bagaimana mereka mendemonstrasikan pemahamannya tentang apa yang telah mereka pelajari; c) Memberikan kesempatan pada murid untuk memilih peran yang dapat mereka ambil dalam sebuah kegiatan/program; d) Memberikan murid kesempatan untuk memilih kelompok; e) Memberikan kesempatan murid untuk mengelola pengaturan kegiatan; f) Menggunakan musyawarah untuk mengambil keputusan, atau jika memang diperlukan melalui voting, untuk memprioritaskan langkah tindakan atau aktivitas berikutnya. Misalnya saat ingin belajar tentang topik tertentu, guru dapat mendiskusikan dan membuat daftar kegiatan apa saja yang dapat mereka lakukan, kemudian meminta murid untuk memilih mana yang ingin mereka lakukan lebih dulu; g) Mengajak OSIS membuat daftar kegiatan (event), dan memberikan kesempatan untuk memilih mana kegiatan yang ingin mereka lakukan di dalam satu tahun ajaran; h) Memberi kesempatan pada murid untuk menentukan sendiri bentuk penugasan yang mereka inginkan; i) Memberikan kesempatan pada murid untuk mempresentasikan hasil kerja/proyek sesuai dengan gaya , minat dan bakat mereka; j) Memberikan kesempatan pada murid untuk menggali sumber-sumber belajar sesuai minat mereka; k) memberikan kesempatan pada murid untuk mengevaluasi pembelajarannya; l) memberikan kesempatan pada murid untuk menentukan rencana, jadwal atau agenda dalam melaksanakan pembelajarannya.

 

3. Kepemilikan (ownership)

Dalam pembahasan sebelumnya, telah dijelaskan bahwa saat murid berada dalam kursi kemudi proses belajar mereka, maka mereka akan lebih bertanggungjawab terhadap proses pembelajaran mereka sendiri dan menunjukkan keterlibatan yang lebih tinggi dalam proses belajarnya.

 

Menurut Duddley-Marling dan Searle yang dikutip oleh Rainer dan Mona dalam artikel yang berjudul Ownership of Learning in Teacher Education (2002:27) bahwa kepemilikan bukanlah sesuatu yang bisa diberikan, melainkan sesuatu yang berkembang dalam struktur dan proses yang menyiratkan rasa hormat terhadap otonomi, kekuasaan, suara, dan tanggung jawab kepada orang lain.  

 

Dengan demikian kondisi-kondisi, struktur, dan proses perlu dikembangkan agar guru mampu menciptakan proses pembelajaran yang mendorong murid memiliki rasa kepemilikan. Beberapa hal yang dapat dilakukan oleh guru adalah: a) Memberikan murid kesempatan untuk memilih beberapa kegiatan yang mereka lakukan (misalnya memilih topik untuk dilaporkan); b) Memberikan kesempatan murid berpartisipasi dalam pengembangan kurikulum (misalnya, memutuskan apa yang ingin mereka pelajari); c) Memberikan murid kesempatan untuk berpartisipasi aktif dalam kelas; d) Memberikan murid kesempatan untuk menilai diri sendiri dan terlibat dalam proses penilaian (misalnya, melibatkan murid dalam mendiskusikan kriteria rubrik proyek yang baik).

 

Voltz DL, Damiano-Lantz M. dalam artikel penelitiannya yang berjudul Developing Ownership in Learning. Teaching Exceptional Children (1993;18) menjelaskan bahwa kepemilikan dalam belajar (ownership in learning) sebenarnya mengacu pada rasa keterhubungan, keterlibatan aktif, dan investasi pribadi seseorang dalam proses belajar.  

 

Merujuk pada pendapat tentang konsep kepemilikan, dapat dikatakan bahwa, saat murid terhubung (baik secara fisik, kognitif, emosional) dengan apa yang sedang dipelajari, terlibat aktif, dan menunjukkan investasi pribadi dalam proses belajarnya, maka kita dapat mengatakan bahwa tingkat rasa kepemilikan mereka terhadap proses belajar tinggi.

 

Berikut ini adalah beberapa contoh mempromosikan “kepemilikan murid”: a) Merespon dan menindaklanjuti masukan dan umpan balik dari murid; b) Meminta pendapat murid untuk menentukan bentuk penugasan; c) menciptakan lingkungan belajar di mana murid dapat menetapkan tujuan belajar dan kriteria keberhasilan mereka sendiri, dan memantau dan menyesuaikan pembelajaran mereka; d) secara terus menerus tunjukkan kepada murid bagaimana mereka dapat menjadi pembelajar yang lebih baik dari hari ke hari, misalnya dengan belajar untuk menerima kesalahan. Berbagilah dengan murid-murid kita bagaimana terkadang kita membuat kesalahan dan bagaimana kita kemudian belajar dari kesalahan tersebut. Dengan cara ini, murid akan selalu merasa diterima. tidak dituntut sempurna, sehingga merasa nyaman dalam proses pembelajarannya; e) Menanyakan kepada murid apa yang mereka ketahui tentang topik yang akan dipelajari atau mendiskusikan pengalaman murid tentang topik tersebut, dan mengkoneksikannya dengan pembelajaran yang akan dilakukan; f) Memosting ide siswa (dengan seizin murid sebagai bagian dari menghargai dan menghormati kepemilikan murid); g) Mengajak murid mengatur layout kelas mereka sendiri; h) Mengkondisikan lingkungan fisik yang mendukung kepemilikan. Misalnya membuat papan buletin, yang dapat digunakan murid untuk menampilkan informasi tentang pekerjaan mereka, kesuksesan mereka, dsb; i) Mengajak murid untuk mengatur kelas mereka sendiri; j) Memajang pekerjaan-pekerjaan murid di kelas; k) Melakukan penilaian diri sendiri (self assessment); l) Membuat sudut murid di salah satu bagian sekolah, kemudian memberikan jadwal untuk setiap kelas untuk melakukan sesuatu di sudut tersebut; m) Memberi kesempatan murid membawa sumber-sumber pembelajaran yang mungkin mereka miliki dan meminta mereka berbagi.

 

Bagaimana Lingkungan yang Menumbuhkembangkan Kepemimpinan Murid ? Sebagaimana padi yang hanya akan tumbuh subur pada lingkungan yang sesuai, maka kepemimpinan murid pun akan tumbuh dengan lebih subur jika sekolah dapat menyediakan lingkungan yang cocok. Lingkungan yang menumbuhkembangkan kepemimpinan murid adalah lingkungan di mana guru, sekolah, orangtua, dan komunitas secara sadar mengembangkan wellbeing atau kesejahteraan diri murid-muridnya secara optimal.

 

Noble et al (2008) menjelaskan bahwa kesejahteraan siswa yang optimal adalah sebuah keadaan emosional yang berkelanjutan yang dicirikan dengan (terutama) suasana hati dan sikap yang positif, hubungan positif dengan murid lain maupun guru, daya lenting atau ketangguhan, pengoptimalan kekuatan diri, serta tingkat kepuasan yang tinggi terhadap pengalaman belajar mereka di sekolah Menyadur apa yang disampaikan oleh Noble tersebut, maka lingkungan yang menumbuhkembangkan kepemimpinan murid akan memiliki beberapa karakteristik, di antaranya adalah:

1. Lingkungan yang menyediakan kesempatan untuk murid menggunakan pola pikir positif dan merasakan emosi yang positif. Lingkungan yang seperti ini akan membuat murid mampu dan berkeinginan untuk melakukan hal-hal secara positif untuk dirinya sendiri serta memberikan pengaruh positif kepada kehidupan orang lain dan sekelilingnya. Pola pikir positif ini didapatkan oleh murid melalui pengalaman emosi positif dalam konteks sekolah, di mana murid bukan hanya merasa aman, nyaman, dan merasa menjadi bagian dari komunitas sekolah, namun juga didapat dari adanya keadaan di mana murid merasakan keselarasan antara kebutuhan dan harapannya terhadap sekolah dan lingkungannya dengan pengalaman belajar yang didapatnya di sekolah. Lewat pengalaman emosi positif ini, murid akan mampu mengembangkan keterampilan inkuiri, menunjukkan sikap gembira, penuh syukur, saling mengapresiasi. Mereka memiliki kesadaran diri, sikap optimis sehingga dapat berperan aktif dan membuat perbedaan yang positif baik untuk dirinya sendiri, orang lain, maupun lingkungan sekitarnya.

 

2. Lingkungan yang mengembangkan keterampilan berinteraksi sosial secara positif, arif dan bijaksana, di mana murid akan menjunjung tinggi nilai-nilai sosial positif yang berbasis pada nilai-nilai kebajikan yang dibangun oleh sekolah. Di dalam lingkungan yang seperti ini,  nilai-nilai tersebut kemudian akan mewujud menjadi atmosfer sekolah yang positif, di mana hubungan dan interaksi sosial yang terjalin di antara para murid, guru, orang tua maupun seluruh komunitas yang terkait akan terasa sangat positif dan kontributif.

 

3. Lingkungan yang melatih keterampilan yang dibutuhkan murid dalam proses pencapaian tujuan akademik maupun non-akademiknya.  Lingkungan ini akan memungkinkan murid untuk memiliki determinasi diri yang kuat dalam  proses pembelajaran, baik dalam aspek akademik maupun non-akademik. Dalam lingkungan ini, murid akan belajar tentang nilai-nilai ketekunan serta kerja keras. Murid akan belajar untuk mampu melihat sejauh mana kemajuan proses belajarnya. Murid mampu mengerjakan tugas sekolahnya secara mandiri,  memiliki  pemahaman yang benar dan cakap sehingga berhasil mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

 

4. Lingkungan yang melatih murid untuk menerima dan memahami kekuatan diri, sesama, serta masyarakat dan lingkungan di sekitarnya. Lingkungan yang seperti ini akan membantu murid untuk dapat menerapkan dan mempergunakan apa yang menjadi kekuatan dirinya dan memanfaatkan serta menerapkannya dalam berbagai konteks yang berbeda-beda.

 

5. Lingkungan yang membuka wawasan murid agar dapat menentukan dan menindaklanjuti tujuan, harapan atau mimpi yang manfaat dan kebaikannya melampaui pemenuhan kepentingan individu, kelompok, maupun golongan. Lingkungan yang seperti ini akan memberikan kesempatan bagi murid untuk melihat dirinya sebagai bagian dari sesuatu yang jauh lebih besar di luar dirinya. Lingkungan ini akan memberikan peluang bagi murid untuk belajar melalui pelayanan kepada masyarakat dan komunitas di mana mereka akan dapat terus mengasah rasa kemanusiaan, kepedulian, dan rasa cinta kasih.

 

6. Lingkungan yang menempatkan murid sedemikian rupa sehingga terlibat aktif dalam proses belajarnya sendiri. Lingkungan yang seperti ini akan menyediakan berbagai kegiatan belajar yang menarik, menantang, dan bermakna, di mana dalam prosesnya murid akan merasa senang hati dan menikmati setiap momen pembelajarannya.

 

7. Lingkungan yang menumbuhkan daya lenting dan sikap tangguh murid untuk terus bangkit di tengah kesempitan dan kesulitan. Lingkungan ini akan membantu murid untuk berani menerima tantangan, berjiwa besar, dan selalu bangkit  lagi dan berusaha mencari solusi bila menemui kegagalan. Lingkungan ini akan memungkinkan murid untuk selalu mengambil pelajaran dari setiap kegagalan-kegagalan yang dijumpainya dan berusaha untuk menemukan cara-cara alternatif atau cara yang paling tepat.

 

Dalam rangka mewujudkan lingkungan belajar yang dapat menumbuhkan kepemimpinan murid, maka guru dan sekolah tentunya tidak dapat bekerja sendiri. Mereka akan memerlukan dukungan dari berbagai pihak. Salah satunya dari komunitas. Di dalam bahasan selanjutnya di bawah ini, kita akan membahas bagaimana peran keterlibatan komunitas dalam menumbuhkembangkan kepemimpinan murid.

 


= Baca Juga =


Post a Comment

Previous Post Next Post


































Free site counter


































Free site counter