zmedia

Relativisme Budaya dan Jenis Relativisme Budaya

Apa yang dimaksud Relativisme Budaya? Apa saja Jenis-jenis Relativisme Budaya?


Apa yang dimaksud Relativisme budaya? Pembahasan mengenai konsep relativisme budaya bukan hanya sebuah konsep atau teori saja, tetapi banyak diantaranya memiliki arti penting tidak hanya dalam ilmu sosial (terutama antropologi) tetapi juga dalam hukum dan filsafat (Tilley, 2017). Bahkan menurut Kaplan & Manners (Kaplan & Menners, 2012) relativistik dan komparatif ini merupakan bagian dari sikap Antropologi dalam hal teori dan metodologi. Maka pemahaman konsep relativisme budaya sangat penting sebagai dasar dalam belajar ilmu antropologi.

 

Untuk memulai pembahasan ini, ada gunanya kita membahas mengenai tesis ideologis dan metodologis dari relativisme, boleh jadi keduanya berhubungan erat bahkan tidak terpisahkan dalam kacamata antropologi. Sebagai tesis ideologis, relativisme menyatakan bahwa setiap budaya memiliki konfigurasi yang unik yang memiliki cita rasa khas dan gaya serta kemampuan sendiri-sendiri. (Kaplan & Menners, 2012).

 

Kekhasan budaya setiap daerah baik dalam bentuk ide, perilaku atau benda material memperkaya keberagaman yang dimiliki. Kekhasan ini di satu sisi dapat memperkaya di sisi yang lain tidak jarang berakibat konflik bahkan disertai kekerasan.


Kebudayaan ini bersifat relative dan tidak berlaku universal. Budaya di satu tempat bisa berarti positif mungkin di tempat yang lain negative. Budaya dalam hal ini bisa berupa bahasa, kesenian, agama, organisasi sosial, sistem pengetahuan, sistem ekonomi, dan juga teknologi (Koentjaraningrat, 2009).


Keberadaan relativisme budaya sebagai sebuah kajian ilmiah sudah ada sejak abad ke-19. Para kaum relativis budaya yang paling menonjol adalah sosiolog William Graham Sumner (1840-1910) dan antropolog Franz Boas (1858-1942), Ruth Benedict (1887-1948), dan Melville Herskovits (1895-1963). Secara kolektif karya-karya mereka mengandung kajian relativisme budaya baik secara eksplisit atau implisit. Masing- masing menempatkan "relativisme budaya" sebagai kajian utama(Tilley, 2017).

 

Pada abad ke-20 tesis “relativisme budaya” berlanjut apa yang dikembangkan sebagai teori etika oleh Sumner (1906), Benediktus (1934a, 1934b), dan Herskovits (1973). Teori-teori ini menentang skeptisisme moral di satu sisi, universalisme moral di sisi lain (Tilley, 2017). Menurut Tilley (2017) pandangan ini menentang bentuk universalisme moral, sikap skeptisisme moral mengasumsikan bahwa beberapa hal benar atau salah bervariasi dari satu budaya ke budaya berikutnya.

 

Sementara universalisme moral adalah sikap moral yang berlaku “umum”. Lebih tepatnya pandangan ini menganggap bahwa tidak ada prinsip moral, bahkan yang sangat umum (misalnya, kaidah Emas)(Tilley, 2017). Melihat perbandingan pemikiran relativisme budaya pada abad ke-19 dan abad-20 mengalami perkembangan pemikiran. Hal ini membuktikan bahwa sejalan dengan perkembangan pemikiran manusia konsep “relativisme budaya” juga mengalami perkembangan.

 

Sikap relativisme budaya dapat menyebabkan persepsi masyarakat yang berbeda dikarenakan suatu pandangan yang berbeda. Dengan memiliki sikap relativisme budaya para antropolog dapat melihat “kebenaran” suatu budaya dilihat dari pelaku budaya tersebut. Sikap relativisme ini bertentangan dengan sikap etnosentrisme. Padahal relativisme disini mengharapkan adanya rasa saling menghargai dan menghormati budaya berbeda sehingga akan tercipta kerukunan bersama dalam masyarakat. Etnosentrisme ini merupakan kecenderungan untuk melihat dunia dari perspektif budayanya sendiri, atau ketidakmampuan memahami budaya yang berbeda dari budaya sendiri (Barnard & Spencer, 2002).  Sehingga  etnosentrisme  merupakan antitesis dari gagasan  besar relativisme budaya bahkan menegasikan antropologi itu sendiri.

 

Pada dasarnya ada dua prinsip utama dari relativisme budaya (Winthrop, 1991) antara lain: Pertama, prinsip metodologis yaitu suatu kepercayaan atau adat istiadat harus dipahami dalam konteks budayanya, dimana hal itu mencerminkan pandangan dunia yang khas. Kedua, Prinsip etika yang menjelaskan bahwa perilaku harus dinilai dari budaya pelakunya, bukan melalui standar penilaian yang asing atau seolah-olah universal. Dengan memahami kedua prinsip tersebut kita dapat menjelaskan kepada siswa materi “relativisme budaya” secara esensial. Memahami kedua prinsip tersebut kita dapat memahami lebih luas mengenai “konsep esensial” dari relativisme budaya.

 

Apa saja Jenis-jenis relativisme budaya dalam antropologi ? Untuk membantu kita dalam memahami konsep “relativisme budaya” lebih dalam Alan dan Spencer (2002) membagi relativisme budaya menjadi tiga jenis relativisme yaitu: relativisme budaya konvensional, relativisme etis, dan relativisme epistemologis atau 'kognitif' (Barnard & Spencer, 2002).

 

Berikut ini uraian penjelasan dari ketiga jenis relativisme budaya:

1. Relativisme budaya konvensional

Pasca Perang Dunia II, sebagian besar antropolog Inggris dan Amerika setuju dan mengembangkan gagasan relativisme konvensional. Ada dua gagasan utama dalam relativisme pada masa ini: pertama, perbedaan perilaku antara berbagai populasi orang merupakan hasil dari variasi budaya daripada yang lainnya; dan, kedua, bahwa perbedaan- perbedaan yang ada membutuhkan penghormatan dan pemahaman dalam istilah mereka sendiri (Barnard & Spencer, 2002). Dalam versinya yang paling paling populer, relativisme budaya konvensional bersifat agnostic, terkait dengan: alam semesta, seperti kematian, makan, reproduksi, atau bahkan   konflik kelas untuk menentukan batas keragaman manusia.

 

Relativisme budaya konvensional ini bukanlah jenis relativisme yang sangat menyeluruh, karena kekuatan klaimnya cenderung memudar di tepi kepentingan etnografinya; tetapi ini adalah pandangan yang sangat aman untuk dikemukakan. Karenanya, relativisme budaya konvensional adalah apa yang sering dibawa pulang oleh siswa dari kelas antropologi (Barnard & Spencer, 2002).

 

2. Relativisme Etis/Relativisme Budaya Moral

Pandangan relativisme budaya yang ada di masyarakat, terkadang berlawan dengan konsep moral. Relativisme budaya dipandang sebagai perintah bahwa setiap orang harus bertoleransi terhadap budaya lain. Hal ini bertentangan dengan apa yang terkadang dianggap prinsip moral yang berlaku secara universal. Lebih lanjut menurut Benedict (Tilley, 2017), memperlihatkan bahwa tidak ada prinsip moral yang berlaku secara universal, maka prinsip toleransi adalah prinsip valid secara universal. Pandangan Relativisme etis ini adalah gagasan bahwa urusan membuat penilaian universal, lintas budaya, dan etis adalah tidak koheren dan tidak adil karena nilai-nilai moral adalah produk dari sejarah perkembangan unik setiap budaya, dan dengan demikian, hanya dapat dinilai dalam hubungannya dengan sejarah itu(Winthrop, 1991).

 

Relativisme semacam ini paling populer pada tahun 1930-an di antropologi sosial Inggris dan antropologi budaya Amerika. Fungsionalisme antropologi Inggris, misalnya, tampaknya menyarankan bahwa praktik etika masyarakat tertentu adalah hasil dari perkembangan struktural atau praktis yang telah berlangsung lama, dengan tujuan yang rumit dan halus, maka tidak boleh dirusak. Demikian pula, di Amerika Serikat, Boas (1911) dan murid-muridnya Benediktus (1934), dan Herskovits (1972), berpegang pada pandangan difusionis tentang perkembangan budaya yang cenderung melemahkan klaim universalis, dan membuat relativisme etis tampak secara empiris jelas, perlu secara metodologis (untuk menghindari etnosentrisme), dan jelas adil (Barnard & Spencer, 2002).

 

Ide kunci dari relativisme budaya moral adalah bahwa kebenaran moral bersifat relatif secara budaya (Barnard & Spencer, 2002). Hal ini menghasilkan pandangan tambahan yang mengambil nama "relativisme budaya". Misalnya pandangan bahwa setiap kebenaran dibatasi hanya pada satu dari banyak kerangka kepercayaan yang tidak dapat dibandingkan, setiap kerangka merupakan produk dari budaya tertentu. Budaya tersebut diturunkan dari satu generasi ke generasi yang lain. Lebih sederhana kebenaran moral direduksi menjadi fakta tentang apa yang diterima sebagai benar atau salah.

 

3. Relativisme Epistemologis

Relativisme epistemologis, kadang-kadang disebut relativisme “kognitif”, sering didefinisikan sebagai pernyataan bahwa sistem pengetahuan yang dimiliki oleh budaya yang berbeda “tidak dapat dibandingkan” (yaitu tidak dapat dibandingkan, tidak dapat diterjemahkan, sama sekali asing, dll.) (Barnard & Spencer, 2002). Oleh karena itu, orang-orang dalam budaya yang berbeda diyakini oleh para relativis epistemologis untuk hidup dalam “dunia” kognitif yang berbeda dan sama- sama “benar”. Tentu saja hal ini jika didefinisikan dengan cara ini, relativisme epistemologis menurut Rosaldo (Barnard & Spencer, 2002) adalah manusia biasa, dan dipeluk oleh sangat sedikit dari mereka yang dituduh sebagai penganutnya. Hal ini dikarenakan budaya yang berbeda tidak dapat dibandingkan. Oleh karena itu perbandingan dan pernyataan universal tidak mungkin.

 

Herskovits, salah satu kelas pernyataan yang baru saja dinyatakan tidak mungkin. Selain itu, definisi relativisme epistemologis ini juga meleset. Karena karakternya yang menyangkal diri dalam praktiknya tidak mensyaratkan (atau, dengan logikanya sendiri, membutuhkannya hanya menyiratkan) alternatif-alternatif yang secara epistemologis konservatif disukai para pengkritiknya; agnostisisme epistemologis dari banyak antropolog simbolik, misalnya, dengan rapi menghindari kritik ini.

 

Secara umum relativisme budaya dapat diartikan suatu pandangan yang melihat budaya lain berdasarkan budaya mereka sendiri, kita melihat budaya satu dengan budaya lain berbeda dan kita tidak menilai apakah lebih rendah atau lebih tinggi. Dalam buku Universal Human Rights In The Theory and Practice, secara filosofis relativisme budaya merupakan paham yang berangkat dari ide umum yang menyatakan bahwa karakter moral bersifat relatif. Menurut Jack Donnelly gagasan tentang relativisme budaya mendalilkan bahwa kebudayaan merupakan satu- satunya sumber keabsahan hak atau kaidah moral (Donnelly, 2013).

 

Bagaima Contoh pembelajaran materi “relativisme budaya” ? Pernahkah kita mengalami kesulitan dalam menjelaskan materi “relativisme budaya” pada peserta didik kita? Jika pernah kesulitan apa yang saudara dapatkan dalam menjelaskan materi tersebut kepada siswa atau peserta didik. Dalam menjelaskan materi “relativisme budaya” kita bisa mulai dari contoh-contoh sederhana dari pengalaman peserta didik di lingkungan mereka kemudian kita kaitkan dengan kajian konseptual atau logika deduktif. Kita bisa memulai dengan memberikan contoh perbandingan dua kebudayan atau lebih. Misalnya melalui tayangan youtube, artikel di web, sosial media atau lainnya.

 

Setelah menyimak youtube, artikel di web, sosial media atau lainnya, siswa dapat melihat atau mengamati perbedaan budaya. Setelah mengamati youtube, artikel di web, sosial media tersebut siswa dapat mengamati tindakan apa saja yang memiliki nilai-nilai positif di Negara A (atau di daerah A) serta nilai-nilai positif di Negara B (atau di daerah B) atau sebaliknya. Dengan membandingkan kedua kebudayaan yang ada, maka kita bisa mengarahkan bahwa kebenaran setiap budaya tidak bersifat absolut. Setiap kebudayaan memiliki nilai kebenaran sendiri. Kemudian kita dapat dapat mengaitkan dengan konsep yang kita pelajari pada pembahasan sebelumnya tentang apa itu relativisme budaya dan jenis relativisme apa. Melalui pembelajaran berbasiskan kasus  tersebut  siswa dapat  memberikan kesimpulan sendiri dan bisa mendefinisikan apa itu relativisme budaya dan menjelaskan secara konseptual.

 

Contohnya lain yang kita bisa gunakan adalah masyarakat Bali yang menganggap sapi merupakan hewan keramat sehingga harus dijaga dan dihormati, sapi hewan sakral bagi agama Hindu karena merupakan suatu lambang yang memberikan kesejahteraan bagi masyarakat sehingga mereka tidak boleh menyembelih dan memakannya. Akan tetapi untuk budaya masyarakat Jawa tidak seperti itu, sapi merupakan hewan yang biasa untuk dikonsumsi dan tidak mempunya kesakralan tertentu.

 

Dari kasus ini kita dapat menyimpulkan dan melatih sikap analitis siswa. Pemahaman akan relativisme ini penting dimiliki siswa dan pendidik dalam belajar antropologi. Dengan memiliki sikap relativisme bisa saling memahami antara satu budaya satu dengan yang lain punya ciri dan keunikan yang berbeda dan ketika kita bisa menyadari tanpa membandingkan lebih baik atau buruk (tinggi atau rendah).

 

Demikian pembahasan tentang Relativisme Budaya dan Jenis Relativisme Budaya. Mari kita jaga NKRI dengan memahami Relativisme budaya.

Posting Komentar untuk "Relativisme Budaya dan Jenis Relativisme Budaya"



































Free site counter


































Free site counter